Selasa, 15 Desember 2015

STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH, seri trjemah mafahim 7



ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH

Banyak orang keliru dalam memahami sebagian aspek-aspek yang sama antara status Khaliq dan makhluq. Mereka  menganggap bahwa menisbatkan aspek-aspek di atas kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah.
Diantara aspek-aspek di atas adalah seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian orang dan menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu mereka menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan kepada Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan aspek-aspek itu kepada Rasulullah berarti mensifati beliau dengan sebagaian sifat-sifat ketuhanan. Pandangan ini adalah sebuah kebodohan murni. Karena Allah SWT bebas memberi siapa saja dan sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi semata-mata karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia mulyakan, Dia tinggikan derajat dan hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang lain. Hal ini bukan berarti melepas hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak sifat-sifat ketuhanan tetap terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah SWT. Jika ada makhluk yang memiliki salah satu dari hak atau sifat ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan diperoleh lewat izin, anugerah, dan kehendak Allah. Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan perintahnya. Karena manusia adalah makhluk lemah yang tidak mampu menimpakan bahaya, memberi manfaat, kematian , kehidupan dan kebangkitan dari kubur untuk dirinya sendiri. Banyak hal-hal yang da dalil yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah SWT memberikannya kepada Nabi SAW dan orang lain.
Berangkat dari penjelasan di atas, pensifatan Nabi SAW dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai ke derajat ketuhanan atau menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah SWT.
Di antara aspek-aspek di atas adalah :
             Syafaat; syafaat adalah milik Allah. Allah berfirman :
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya.

Namun syafaat juga dimiliki oleh Rasul SAW dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam sebuah hadits : Saya dikaruniai syafaat, dan : Saya adalah orang pertama yang memberi syafaat dan diterima syafaatnya.
             Mengetahui hal-hal ghaib adalah milik Allah.
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah: "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah",
Namun terdapat dalil yang menunjukkan Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib :
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
(dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

             Hidayah;
 hidayah khusus milik Allah. Allah berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.

Tapi terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Nabi SAW juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya engkau benar-benar menunjukkan ke jalan yg lurus.
Hidayah yang terdapat dalam ayat pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua. Perbedaan ini hanya dapat dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan berfikir yang baik yang mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika pengertian hidayah disamakan niscaya Allah perlu mengatakan Sesungguhnya engkau memberi hidayah yang berupa bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah tapi bukan seperti hidayah-Ku. Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Malah Allah membiarkan lafadl hidayah tanpa keterangan apapun. Karena orang yang mengesakan Allah dari kaum muslimin bisa memahami kata-kata dan mengerti perbedaan indikasi dari kata-kata tersebut menyangkut apa yang disandarkan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Masalah ini sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah saat Allah berfirman  :     
بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.
dan Allah juga mensifati diri-Nya dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat. Allah SWT berfirman رَءُوفٌ رَحِيمٌ Sudah umum diketahui bahwa  Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut Dia mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang dikhithabi yang seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan antara Khaliq dan makhluk. Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan rahmat-Ku, atau mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan rahmat tertentu, atau bisa juga mengetakan Ra’uuf dengan ra’fah kemanusiaan dan rahiim dengan rahmat kemanusiaan. Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun. Allah berfirman :
بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAANNYA
Tidak disangsikan lagi bahwa majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantaranya :
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya)

Penyandaran kalimat ziyadah ke kalimat aayaat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang yang menambah sesungguhnya adalah Allah SWT.
يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا
hari yang menjadikan anak-anak beruban.
Penyandaran kata Ja’ala pada pada alyaum adalah majaz ‘aqli. Karena Al-Yaum adalah tempat mereka menjadi beruban. Kejadian tersebut tercipta pada Al-Yaum sedang yang  menjadikan sesungguhnya adalah Allah SWT.
وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا
dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia)
Penyandaran Idlal pada Ashnam adalah majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idlal sedang yang memberi petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya Allah SWT semata.
Firman Allah mengisahkan Fir’aun :
يَاهَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ
"Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi
Penyandaran Al-Binaa kepada Haman adalah majaz ‘aqli karena Haman Cuma penyebab. Ia hanya pemberi perintah tidak membangun sendiri. Yang membangun adalah para pekerja.
Adapun keberadaaan majaz ‘aqli dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui oleh orang yang mau mengkajinya. Para ulama berkata : Terlontarnya penyandaran di atas dari orang yang mengesakan Allah cukup menjadikannya dikategorikan sebagai penyandaran majazi karena keyakinan yang benar adalah bahwa pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka adalah Allah semata. Allah adalah pencipta para hamba dan tindakan-tindakan mereka. Tidak ada yang bisa memberikan pengaruh kecuali Allah. Orang hidup atau orang mati tidak bisa memberi pengaruh apapun. Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni. Berbeda kalau memiliki keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh dalam kemusyrikan.

URGENSI MENETAPKAN KAITAN (NISBAT) DALAM
MENETAPKAN BATASAN KUFUR DAN IMAN

Beberapa kelompok sesat hanya menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan tujuan-tujuan serta tidak menggunakan titik temu yang bisa menghindari kontradiksi antar dalil-dalil yang ada seperti kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman Allah :
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab
kelompok Qadariyyah (free will) yang menggunakan ayat :
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri
بما كنتم تعملون
kelompok Jabariyah yang berpegang teguh dengan ayat :
والله خلقكم وما تعملون
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Untuk menyingkap maksud dari firman Allah di muka bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam diluar kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan Allah SWT berdasarkan ayat
والله خلقكم وما تعملون    dan ayat    وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
meskipun tindakan itu bisa dilekatkan kepada hamba dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja) seperti dalam firman Allah
لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت
dan ayat-ayat lain yang menunjukkan penyandaran kerja kepada hamba. Keterkaitan qudrah dengan almaqdur (obyek dari sifat qudrah) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrah Allah pada masa azali berkaitan dengan  alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrah Allah ketika menciptakan alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan lain.

ESENSI MENISBATKAN TINDAKAN KEPADA PARA HAMBA
Berangkat dari keterkaitan qudrah di atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrah tidak hanya dengan terjadinya al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri dengan cara mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah yang menciptakan, mentakdirkan dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah menghendaki apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan bukti Allah menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah tidak menghendaki semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya-.

Penisbatan tindakan kepada makhluk masuk kategori penisbatan  musabbab (Obyek yang terkena pengaruh sebab) kepada sabab (penyebab) atau wasithah (perantara). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi karena yang menjadi penyebab dari segala sebab adalah pencipta washithah yang menciptakan makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah tidak memberi makna keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak layak menjadi washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah seperti benda mati, cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti malaikat, manusia atau jin.

PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN NISBAT LAFADH
Barangkali Anda berkata : Tidaklah rasional menisbatkan satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan pengaruh kepada satu obyek yang terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian. Namun konteksnya jika pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaannya”.
Tapi jika pelaku memiliki dua pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkinan digunakan untuk salah satunya. Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu pengertian (musytarak/ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan : Pemimpin membunuh di fulan dan ungkapan : Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata membunuh yang dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda dengan kata yang sama yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita : Allah adalah pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu menjadi ada dan ungkapan kita : Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya adalah bahwa makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah menciptakan padanya kehendak dan pengetahuan. Berarti hubungan qudrah dengan iradah serta gerakan dengan qudrah adalah hubungan kausalitas dan yang diciptakan dengan yang menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya adalah makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kartegori mengaitkan yang disebabi atas yang menjadi penyebab. Berarti sah-sah saja menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan qudrah sebagai Fa’il (pelaku) bagaimanapun bentuk kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh dengan memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan dengan keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda namun masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula dalam hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat. Dalil yang menunjukkan diperbolehkan menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa Allah SWT sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diri-Nya sendiri. Allah SWT berfirman :
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ
Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam., dengan dinisbatkan kepada mereka
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا   ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا
. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
lalu Kami mengutus roh Kamikepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
فَنَفَخْنَا فِيهَا مِنْ رُوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آيَةً لِلْعَالَمِينَ
lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan Dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.
Nafkh (tiupan) disandarkan kepada Allah padahal yang meniup sesungguhnya adalah Jibril AS. Allah berfirman :
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
padahal pembaca Al-Qur’an yang didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad SAW adalah Jibril.
Allah berfirman :
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Allah meniadakan tindakan pembunuhan dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diri-Nya dan menafikan tindakan pelemparan darinya lalu menyandarkannya kepada diri-Nya. Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka membunuh orang-orang kafir dan menafikan tindakan Nabi melempari mereka dengan kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak membunuh dan melempar dalam pengertian sebagaimana Allah membunuh dan melempar yaitu penciptaan dan kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna yang memiliki arti berbeda. Kadangkala Allah menisbatkan tindakan kepada diri-Nya dan Nabi Muhammad secara bersamaan sebagaimana firman Allah :
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).
 ‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa Allah SWT jika berkehendak menciptakan janin maka Allah mengutus malaikat. Lalu malaikat memasuki rahim dan memungut sperma dengan tangannya kemudian membentuknya sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai Tuhanku, laki-laki atau perempuan jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal atau cacat ?”. Lalu Allah menetapkan janin sesuai dengan kehendak-Nya dan malaikat pun membentuknya.
Dalam versi lain : malaikat membentuk janin dan meniupkan nyawa padanya sebagai janin yang mendapat bahagia atau celaka.
Jika Anda memahami keterangan di atas maka jelaslah bagi Anda bahwa tindakan digunakan dalam arti beragam dan tidak kontradiktif. Karena itu tindakan adakalanya disandarkan kepada benda mati seperti dalam firman Allah : 
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya.,
pohon tidak bisa memberikan buah dengan sendirinya. Sebagaimana halnya sabda Nabi kepada orang yang memberikan beliau sebuah kurma.
خذها لو لم تأتها لأتتك ...
Ambillah kurma itu. Jika engkau tidak mendatanginya maka kurma itu akan datang kepadamu ...............
Sebagaimana tertera dalam riwayat Thabarani dan Ibnu Hibban. Penyandaran kata Ityan (datang) berbeda pengertian antara yang disandarkan kepada seorang laki-laki dan kurma. Maksud dari datangnya kurma berbeda dengan datangnya laki-laki. Pengertian datang dari keduanya adalah dua majaz yang berbeda sudut pandangnya. Kemajazan penyebutan kedatangan kepada laki-laki bermakna bahwa Allah menciptakan padanya kemampuan dan kehendak untuk datang pada kurma. Sedang kedatangan kurma bermakna bahwa Allah akan membuat seseorang sebagai penyebab datangnya kurma. Yang sesungguhnya adalah menyandarkan mendatangkan kepada Allah pada keduanya. Karena perbedaan sudut pandang dalam perantara maka memandang perantara dalam tindakan terkadang bisa mengakibatkan kekufuran sebagaimana jawaban Qarun terhadap Nabi Musa AS :
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku".
Dan sebagaimana dalam hadits : Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada yang beriman kepadaKu dan kafir. Adapun yang berkata : Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang. Sebaliknya orang yang berkata : kami disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang. Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptakan.
Imam al-Nawawi berkata : pendapat para Ulama terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang mengatakan : Kami disirami hujan berkat bintang ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkataan ini adalah kekufuran kepada Allah dan mencabut dasar keimanan serta dapat mengeluarkan dari agama Islam. Dalam pandangan ulama kekufuran bisa terjadi atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya meyakini bahwa bintang adalah pelaku, pengatur dan pencipta hujan sebagaimana anggapan sebagaian kaum jahiliyyah. Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini maka tidak disangsikan lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama diantaranya Imam Asy-Syafi’i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits. Karena itu, dalam pandangan mereka seandainya mengatakan : kami disirami hujan berkat bintang ini dengan tetap meyakini bahwa hujan itu dari dan berkat rahmat Allah SWT sedang bintang cuma dianggap sebagai waktu dan ciri berdasarkan kebiasaan maka seolah-olah ia mengatakan : kami disirami hujan pada waktu bintang ini, berarti ia tidak kufur.
Para ulama berbeda pendapat menyangkut kemakruhan perkataan : kami disirami hujan berkat bintang ini. Namun kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi dosa. Penyebab kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur dan tidak, yang bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia adalah lambang jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
Pendapat kedua : Pada dasarnya penafsiran hadits Nabi menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah sebab membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh riwayat terakhir pada bab ini ; Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada yang kufur.  Dalam riwayat lain ; Allah tidak  menurunkan  berkah  dari  langit kecuali sebagian manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata بها (terhadap berkah itu) menunjukkan  kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu A’lam.
Anda bisa melihat bahwa Imam An-Nawawi menyatakan adanya konsensus ulama bahwa siapapun yang menisbatkan tindakan kepada perantara tidak berdampak kufur kecuali disertai keyakinan bahwa perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur dan pencipta. Namun jika perantara tidak dilihat demikian namun hanya menganggap perantara adalah ciri atau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkan maka vonis kufur tidak jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana sabda Nabi : Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak mampu membalasnya maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah membalas kebaikannya. Dan sabda Nabi yang lain : Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah.
Ajakan syara’ ini berdasarkan pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut pandang demikian tidak berarti meniadakan anugerah dari Allah. Banyak ayat dimana Allah SWT memberikan pujian atas perbuatan baik para hamba-Nya dan malah memberi mereka pahala atas perbuatan tersebut. Allah adalah Dzat yuang mendorong mereka berbuat baik dan menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah berfirman :
نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhannya)
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu
Jika telah jelas di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’l) dapat digunakan dalam beragam makna maka makna-makna tersebut tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih.
Makna-makna yang terkandung dalam ungkapan  lebih luas dari ungkapan itu sendiri dan hati lebih luas dari buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku pada lafadz dalam arti hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu mengkompromikan antara teks-teks atau membedakannya. Silahkan Anda perhatikan informasi yang disampaikan Allah tentang Nabi Ibrahim AS dalam : رب إنهن أضللن كثيرا من الناس  . apakah Anda menilai Nabi Ibrahim menyekutukan Allah dengan benda mati? Padahal beliaulah yang bertanya : أتعبدون ما تنحتون والله خلقكم وما تعملون  . Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun yang menyekutukan Allah dengan yang lain dalam segi penciptaan dan memberikan pengaruh maka ia telah musyrik baik obyek lain itu benda mati atau manusia, baik Nabi atau bukan. Dan barangsiapa yang meyakini adanya penyebab dalam hal di atas baik penyebab itu berlaku secara umum atau tidak kemudian menjadikan Allah sebagai penyebab atas terjadinya musabbab dan bahwa pelakunya (al-fa’il) adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka ia adalah seorang mukmin meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab dianggap sebagai sebab. Karena kesalahannya terletak pada sebab bukan pada yang menciptakan sebab yang nota bene adalah Sang Pencipta dan Pengatur SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar