ASPEK-ASPEK YANG SAMA ANTARA
STATUS KHALIQ DAN MAKHLUQ TIDAK BERTENTANGAN DENGAN KESUCIAN ALLAH
Banyak orang keliru dalam
memahami sebagian aspek-aspek yang sama antara status Khaliq dan makhluq.
Mereka menganggap bahwa menisbatkan
aspek-aspek di atas kepada status makhluk adalah menyekutukan Allah.
Diantara aspek-aspek di atas
adalah seperti sifat-sifat khusus kenabian yang salah dipahami oleh sebagaian
orang dan menganalogikannya dengan analogi kemanusiaan. Karena itu mereka
menilai terlalu berlebihan bila aspek-aspek tersebut disandarkan kepada
Rasulullah. Mereka menilai bahwa menisbatkan aspek-aspek itu kepada Rasulullah
berarti mensifati beliau dengan sebagaian sifat-sifat ketuhanan. Pandangan ini
adalah sebuah kebodohan murni. Karena Allah SWT bebas memberi siapa saja dan
sesuai kehendak-Nya tanpa ada tekanan yang mengharuskan. Tapi semata-mata
karunia-Nya kepada orang yang hendak Dia mulyakan, Dia tinggikan derajat dan
hendak ditonjolkan kelebihannya atas orang lain. Hal ini bukan berarti melepas
hak-hak dan sifat-sifat ketuhanan. Hak-hak sifat-sifat ketuhanan tetap
terpelihara sesuai dengan kedudukan Allah SWT. Jika ada makhluk yang memiliki
salah satu dari hak atau sifat ketuhanan maka harus disesuaikan dengan kondisi
kemanusiaan, yaitu harus terbatasi dan diperoleh lewat izin, anugerah, dan
kehendak Allah. Bukan karena kekuatan makhluk, rencana dan perintahnya. Karena
manusia adalah makhluk lemah yang tidak mampu menimpakan bahaya, memberi
manfaat, kematian , kehidupan dan kebangkitan dari kubur untuk dirinya sendiri.
Banyak hal-hal yang da dalil yang menunjukkanya sebagai hak Allah, namun Allah
SWT memberikannya kepada Nabi SAW dan orang lain.
Berangkat dari penjelasan di
atas, pensifatan Nabi SAW dengan hal-hal di atas tidak meninggikannya sampai ke
derajat ketuhanan atau menjadikan beliau sebagai sekutu bagi Allah SWT.
Di antara aspek-aspek di atas
adalah :
Syafaat;
syafaat adalah milik Allah. Allah berfirman :
قُلْ
لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah
syafaat itu semuanya.
Namun syafaat juga dimiliki oleh
Rasul SAW dan orang lain atas kehendak Allah seperti terdapat dalam sebuah
hadits : Saya dikaruniai syafaat, dan : Saya adalah orang pertama yang memberi
syafaat dan diterima syafaatnya.
Mengetahui
hal-hal ghaib adalah milik Allah.
قُلْ لَا
يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah: "tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah",
Namun terdapat dalil yang
menunjukkan Allah menginformasikan kepada Nabi hal-hal gaib :
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلَّا مَنِ
ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
رَصَدًا
(dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib,
Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali
kepada Rasul yang diridhai-Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan
penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.
Hidayah;
hidayah khusus milik Allah. Allah berfirman :
إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk.
Tapi terdapat ayat yang
menjelaskan bahwa Nabi SAW juga bisa memberi hidayah. Allah berfirman :
وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya engkau
benar-benar menunjukkan ke jalan yg lurus.
Hidayah yang terdapat dalam ayat
pertama berbeda dengan hidayah dalam ayat kedua. Perbedaan ini hanya dapat
dipahami oleh kaum mu’minin yang memiliki kemampuan berfikir yang baik yang
mampu membedakan status Khaliq dan makhluk. Jika pengertian hidayah disamakan
niscaya Allah perlu mengatakan Sesungguhnya engkau memberi hidayah yang berupa
bimbingan, atau sesungguhnya engkau memberi hidayah tapi bukan seperti
hidayah-Ku. Tapi kedua ungkapan ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Malah Allah
membiarkan lafadl hidayah tanpa keterangan apapun. Karena orang yang mengesakan
Allah dari kaum muslimin bisa memahami kata-kata dan mengerti perbedaan
indikasi dari kata-kata tersebut menyangkut apa yang disandarkan kepada Allah
dan Rasulullah SAW. Masalah ini sama dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an
yang memberi sifat Rasul dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah saat Allah
berfirman :
بِالْمُؤْمِنِينَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap
orang-orang mukmin.
dan Allah juga mensifati diri-Nya
dengan dua sifat di atas dalam banyak ayat. Allah SWT berfirman رَءُوفٌ رَحِيمٌ Sudah umum
diketahui bahwa Al-Ra’fah dan Al-Rahmah
dalam ayat kedua berbeda arti dengan Al-Ra’fah dan Al-Rahmah dalam ayat
pertama. Waktu Allah mensifati Nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut Dia
mensifatinya tanpa embel-embel apapun. Karena orang yang dikhithabi yang
seorang mu’min yang mengesakan Allah mengerti perbedaan antara Khaliq dan
makhluk. Seandainya tidak demikian, Allah perlu mengatakan Ra’uuf dengan ra’fah
yang berbeda dengan ra’fah-Ku, dan rahiim dengan rahmat yang berbeda dengan
rahmat-Ku, atau mengatakan Ra’uuf dengan rahmat tertentu dan Rahiim dengan
rahmat tertentu, atau bisa juga mengetakan Ra’uuf dengan ra’fah kemanusiaan dan
rahiim dengan rahmat kemanusiaan. Namun semua ini ternyata tidak ada. Malah
Allah memberi Nabi sifat ra’fah dan rahmat tanpa menambahkan penjelasan apapun.
Allah berfirman :
بِالْمُؤْمِنِينَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
MAJAZ ‘AQLI DAN PENGGUNAANNYA
Tidak disangsikan lagi bahwa
majaz ‘aqli digunakan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Diantaranya :
وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya)
Penyandaran kalimat ziyadah ke
kalimat aayaat adalah majaz ‘aqli. Karena ayat adalah penyebab bertambah sedang
yang menambah sesungguhnya adalah Allah SWT.
يَوْمًا
يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا
hari yang menjadikan anak-anak beruban.
Penyandaran kata Ja’ala pada pada
alyaum adalah majaz ‘aqli. Karena Al-Yaum adalah tempat mereka menjadi beruban.
Kejadian tersebut tercipta pada Al-Yaum sedang yang menjadikan sesungguhnya adalah Allah SWT.
وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا
dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan
nasr. Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia)
Penyandaran Idlal pada Ashnam
adalah majaz ‘aqli karena ashnam adalah penyebab terjadinya idlal sedang yang
memberi petunjuk dan yang menyesatkan hakikatnya Allah SWT semata.
Firman Allah mengisahkan Fir’aun
:
يَاهَامَانُ
ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ
"Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah
bangunan yang Tinggi
Penyandaran Al-Binaa kepada Haman
adalah majaz ‘aqli karena Haman Cuma penyebab. Ia hanya pemberi perintah tidak
membangun sendiri. Yang membangun adalah para pekerja.
Adapun keberadaaan majaz ‘aqli
dalam hadits maka di dalamnya terdapat jumlah yang banyak yang diketahui oleh
orang yang mau mengkajinya. Para ulama berkata : Terlontarnya penyandaran di
atas dari orang yang mengesakan Allah cukup menjadikannya dikategorikan sebagai
penyandaran majazi karena keyakinan yang benar adalah bahwa pencipta para hamba
dan tindakan-tindakan mereka adalah Allah semata. Allah adalah pencipta para
hamba dan tindakan-tindakan mereka. Tidak ada yang bisa memberikan pengaruh
kecuali Allah. Orang hidup atau orang mati tidak bisa memberi pengaruh apapun.
Keyakinan semacam ini adalah tauhid yang murni. Berbeda kalau memiliki
keyakinan yang berlawanan. Maka ia bisa jatuh dalam kemusyrikan.
URGENSI MENETAPKAN KAITAN
(NISBAT) DALAM
MENETAPKAN BATASAN KUFUR DAN
IMAN
Beberapa kelompok sesat hanya
menggunakan pendekatan tekstual tanpa melibatkan indikasi-indikasi dan
tujuan-tujuan serta tidak menggunakan titik temu yang bisa menghindari
kontradiksi antar dalil-dalil yang ada seperti kelompok yang berpendapat bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk dengan menggunakan argumentasi firman Allah :
إِنَّا
جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam
bahasa Arab
kelompok Qadariyyah (free will)
yang menggunakan ayat :
بِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri
بما كنتم تعملون
kelompok Jabariyah yang berpegang
teguh dengan ayat :
والله خلقكم وما تعملون
وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
Untuk menyingkap maksud dari
firman Allah di muka bahwa sesungguhnya semua kelompok ummat Islam diluar
kelompok Qadariyyah meyakini bahwa semua tindakan para hamba adalah diciptakan
Allah SWT berdasarkan ayat
والله
خلقكم وما تعملون dan ayat وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى
meskipun tindakan itu bisa dilekatkan
kepada hamba dengan menggunakan pendekatan lain yang disebut iktisab (bekerja)
seperti dalam firman Allah
لها ما كسبت وعليها ما اكتسبت
dan ayat-ayat lain yang
menunjukkan penyandaran kerja kepada hamba. Keterkaitan qudrah dengan almaqdur
(obyek dari sifat qudrah) tidak harus melalui penciptaan semata karena qudrah
Allah pada masa azali berkaitan dengan
alam sebelum Allah menciptakannya. Dan qudrah Allah ketika menciptakan
alam berkaitan dengan alam dalam corak keterkaitan lain.
ESENSI MENISBATKAN TINDAKAN
KEPADA PARA HAMBA
Berangkat dari keterkaitan qudrah
di atas jelaslah bahwa keterkaitan qudrah tidak hanya dengan terjadinya
al-maqdur lewat sifat ini. Hubungan tindakan makhluk dengan mereka sendiri
dengan cara mengerjakan bukan penciptaan. Karena Allah yang menciptakan,
mentakdirkan dan menghendakinya. Tidak perlu dipersoalkan bagaimana Allah
menghendaki apa yang Dia larang, karena perintah berbeda dengan kehendak dengan
bukti Allah menyuruh semua manusia untuk beriman namun Allah tidak menghendaki
semuanya beriman. Hal ini berdasarkan firman Allah
وَمَا
أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebahagian besar manusia tidak akan
beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya-.
Penisbatan tindakan kepada
makhluk masuk kategori penisbatan
musabbab (Obyek yang terkena pengaruh sebab) kepada sabab (penyebab)
atau wasithah (perantara). Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi karena yang
menjadi penyebab dari segala sebab adalah pencipta washithah yang menciptakan
makna keperantaraan kepada washithah. Seandainya Allah tidak memberi makna
keperantaraan terhadap segala sebab maka segala sebab itu tidak layak menjadi
washithah baik sebab yang tidak diberi akal oleh Allah seperti benda mati,
cakrawala, hujan dan api atau sebab yang berakal seperti malaikat, manusia atau
jin.
PERBEDAAN ARTI AKIBAT PERBEDAAAN
NISBAT LAFADH
Barangkali Anda berkata :
Tidaklah rasional menisbatkan satu tindakan kepada dua pelaku karena mustahil
berkumpulnya dua hal yang mampu memberikan pengaruh kepada satu obyek yang
terkena pengaruh. Kami jawab, “Benar pandangan kalian. Namun konteksnya jika
pelaku hanya memiliki satu pengertian dalam penggunaannya”.
Tapi jika pelaku memiliki dua
pengertian maka kalimat tersebut ada kemungkinan digunakan untuk salah satunya.
Kalau demikian tidak boleh kalimat itu digunakan untuk kedua-duanya sebagaimana
telah diketahui dalam penggunaan kalimat yang memiliki lebih dari satu
pengertian (musytarak/ambigu) atau hakikat dan majaz sebagaimana ungkapan :
Pemimpin membunuh di fulan dan ungkapan : Si fulan dibunuh oleh algojo. Kata
membunuh yang dinisbatkan kepada pemimpin memiliki pengertian yang berbeda
dengan kata yang sama yang dinisbatkan kepada algojo. Maka ungkapan kita :
Allah adalah pelaku dengan pengertian Dia adalah pencipta yang membuat sesuatu
menjadi ada dan ungkapan kita : Sesungguhnya makhluk adalah pelaku, artinya
adalah bahwa makhluk adalah obyek yang Allah ciptakan padanya kemampuan setelah
menciptakan padanya kehendak dan pengetahuan. Berarti hubungan qudrah dengan
iradah serta gerakan dengan qudrah adalah hubungan kausalitas dan yang
diciptakan dengan yang menciptakan. Hubungan semacam ini berlaku jika obyeknya
adalah makhluk berakal. Namun jika tidak berakal ia termasuk kartegori
mengaitkan yang disebabi atas yang menjadi penyebab. Berarti sah-sah saja
menyebut setiap hal yang memiliki kaitan dengan qudrah sebagai Fa’il (pelaku)
bagaimanapun bentuk kaitannya. Sebagaimana algojo dan penguasa bisa disebut
pembunuh dengan memandang dari sudut masing-masing. Karena pembunuhan berkaitan
dengan keduanya. Meskipun pembunuhan dilihat dari dua sisi pandang berbeda
namun masing-masing algojo dan penguasa bisa disebut pembunuh. Demikian pula
dalam hal menilai obyek-obyek dari qudrat dengan dua qudrat. Dalil yang
menunjukkan diperbolehkan menisbatkan hal-hal di muka dan relevansinya adalah bahwa
Allah SWT sendiri kadang menisbatkan tindakan kepada para malaikat dan
terkadang kepada yang lain dan terkadang menisbatkannya kepada diri-Nya
sendiri. Allah SWT berfirman :
قُلْ
يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ
تُرْجَعُونَ
Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi
untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu
اللَّهُ
يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya
أَفَرَأَيْتُمْ
مَا تَحْرُثُونَ
Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu
tanam., dengan dinisbatkan kepada mereka
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا ثُمَّ
شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا
. Sesungguhnya Kami benar-benar telah
mencurahkan air (dari langit), Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya,.
Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu,
فَأَرْسَلْنَا
إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
lalu Kami mengutus roh Kamikepadanya, Maka ia
menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.
فَنَفَخْنَا
فِيهَا مِنْ رُوحِنَا وَجَعَلْنَاهَا وَابْنَهَا آيَةً لِلْعَالَمِينَ
lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh
dari Kami dan Kami jadikan Dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar
bagi semesta alam.
Nafkh (tiupan) disandarkan kepada
Allah padahal yang meniup sesungguhnya adalah Jibril AS. Allah berfirman :
فَإِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu.
padahal pembaca Al-Qur’an yang
didengar bacaannya oleh Nabi Muhammad SAW adalah Jibril.
Allah berfirman :
فَلَمْ
تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ
وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Allah meniadakan tindakan
pembunuhan dari mereka dan menetapkan tindakan itu kepada diri-Nya dan
menafikan tindakan pelemparan darinya lalu menyandarkannya kepada diri-Nya.
Maksud dari ayat bukan berarti menafikan fakta kasat mata tindakan mereka
membunuh orang-orang kafir dan menafikan tindakan Nabi melempari mereka dengan
kerikil. Namun maksudnya adalah bahwa mereka tidak membunuh dan melempar dalam
pengertian sebagaimana Allah membunuh dan melempar yaitu penciptaan dan
kepastian. Sebab kedua pengertian ini adalah dua makna yang memiliki arti
berbeda. Kadangkala Allah menisbatkan tindakan kepada diri-Nya dan Nabi
Muhammad secara bersamaan sebagaimana firman Allah :
وَلَوْ
أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ
سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan
apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata:
"Cukuplah Allah bagi Kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya
dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang
berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi
mereka).
‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa Allah SWT jika
berkehendak menciptakan janin maka Allah mengutus malaikat. Lalu malaikat
memasuki rahim dan memungut sperma dengan tangannya kemudian membentuknya
sebagai jasad. Malaikat bertanya, “Wahai Tuhanku, laki-laki atau perempuan
jenis kelamin janin ini dan apakah ia normal atau cacat ?”. Lalu Allah
menetapkan janin sesuai dengan kehendak-Nya dan malaikat pun membentuknya.
Dalam versi lain : malaikat
membentuk janin dan meniupkan nyawa padanya sebagai janin yang mendapat bahagia
atau celaka.
Jika Anda memahami keterangan di
atas maka jelaslah bagi Anda bahwa tindakan digunakan dalam arti beragam dan
tidak kontradiktif. Karena itu tindakan adakalanya disandarkan kepada benda
mati seperti dalam firman Allah :
تُؤْتِي
أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap
musim dengan seizin Tuhannya.,
pohon tidak bisa memberikan buah
dengan sendirinya. Sebagaimana halnya sabda Nabi kepada orang yang memberikan
beliau sebuah kurma.
خذها لو لم تأتها لأتتك ...
Ambillah kurma itu. Jika engkau
tidak mendatanginya maka kurma itu akan datang kepadamu ...............
Sebagaimana tertera dalam riwayat
Thabarani dan Ibnu Hibban. Penyandaran kata Ityan (datang) berbeda pengertian
antara yang disandarkan kepada seorang laki-laki dan kurma. Maksud dari
datangnya kurma berbeda dengan datangnya laki-laki. Pengertian datang dari
keduanya adalah dua majaz yang berbeda sudut pandangnya. Kemajazan penyebutan
kedatangan kepada laki-laki bermakna bahwa Allah menciptakan padanya kemampuan
dan kehendak untuk datang pada kurma. Sedang kedatangan kurma bermakna bahwa
Allah akan membuat seseorang sebagai penyebab datangnya kurma. Yang
sesungguhnya adalah menyandarkan mendatangkan kepada Allah pada keduanya. Karena
perbedaan sudut pandang dalam perantara maka memandang perantara dalam tindakan
terkadang bisa mengakibatkan kekufuran sebagaimana jawaban Qarun terhadap Nabi
Musa AS :
قَالَ
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya
diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku".
Dan sebagaimana dalam hadits :
Sebagian hamba-Ku, di pagi hari ada yang beriman kepadaKu dan kafir. Adapun
yang berkata : Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia
beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang. Sebaliknya orang yang berkata :
kami disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepada-Ku dan
beriman kepada bintang. Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara
sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptakan.
Imam al-Nawawi berkata : pendapat
para Ulama terbelah menjadi dua menyangkut kekufuran orang yang mengatakan :
Kami disirami hujan berkat bintang ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa
perkataan ini adalah kekufuran kepada Allah dan mencabut dasar keimanan serta
dapat mengeluarkan dari agama Islam. Dalam pandangan ulama kekufuran bisa
terjadi atas mereka yang mengatakan perkataan tersebut seraya meyakini bahwa
bintang adalah pelaku, pengatur dan pencipta hujan sebagaimana anggapan
sebagaian kaum jahiliyyah. Siapapun yang memiliki keyakinan semacam ini maka
tidak disangsikan lagi telah kafir. Ini adalah pandangan mayoritas ulama
diantaranya Imam Asy-Syafi’i dan sesuai dengan makna literal dalam hadits.
Karena itu, dalam pandangan mereka seandainya mengatakan : kami disirami hujan
berkat bintang ini dengan tetap meyakini bahwa hujan itu dari dan berkat rahmat
Allah SWT sedang bintang cuma dianggap sebagai waktu dan ciri berdasarkan
kebiasaan maka seolah-olah ia mengatakan : kami disirami hujan pada waktu
bintang ini, berarti ia tidak kufur.
Para ulama berbeda pendapat
menyangkut kemakruhan perkataan : kami disirami hujan berkat bintang ini. Namun
kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi dosa. Penyebab
kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur dan tidak, yang
bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia adalah lambang
jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
Pendapat kedua : Pada dasarnya
penafsiran hadits Nabi menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah sebab
membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi
orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh riwayat
terakhir pada bab ini ; Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada
yang kufur. Dalam riwayat lain ; Allah
tidak menurunkan berkah
dari langit kecuali sebagian
manusia mengkufuri terhadap berkah itu. Kata بها
(terhadap berkah itu) menunjukkan
kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu A’lam.
Anda bisa melihat bahwa Imam
An-Nawawi menyatakan adanya konsensus ulama bahwa siapapun yang menisbatkan
tindakan kepada perantara tidak berdampak kufur kecuali disertai keyakinan
bahwa perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur dan pencipta. Namun
jika perantara tidak dilihat demikian namun hanya menganggap perantara adalah
ciri atau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkan maka vonis kufur
tidak jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana
sabda Nabi : Siapapun yang memberi kebaikan kepada Anda maka balaslah ia. Jika
Anda tidak mampu membalasnya maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah
membalas kebaikannya. Dan sabda Nabi yang lain : Siapa yang tidak bersyukur
kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah.
Ajakan syara’ ini berdasarkan
pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut pandang demikian tidak
berarti meniadakan anugerah dari Allah. Banyak ayat dimana Allah SWT memberikan
pujian atas perbuatan baik para hamba-Nya dan malah memberi mereka pahala atas
perbuatan tersebut. Allah adalah Dzat yuang mendorong mereka berbuat baik dan
menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya. Allah berfirman :
نِعْمَ
الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya
Dia Amat taat (kepada Tuhannya)
لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada
pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu
Jika telah jelas di mata Anda
bahwa tindakan (al-fi’l) dapat digunakan dalam beragam makna maka makna-makna
tersebut tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih.
Makna-makna yang terkandung dalam
ungkapan lebih luas dari ungkapan itu
sendiri dan hati lebih luas dari buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku
pada lafadz dalam arti hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu
mengkompromikan antara teks-teks atau membedakannya. Silahkan Anda perhatikan
informasi yang disampaikan Allah tentang Nabi Ibrahim AS dalam : رب إنهن أضللن كثيرا من الناس . apakah Anda menilai Nabi Ibrahim
menyekutukan Allah dengan benda mati? Padahal beliaulah yang bertanya : أتعبدون ما تنحتون والله خلقكم وما تعملون . Kompromi terhadap dua ayat ini adalah bahwa
siapapun yang menyekutukan Allah dengan yang lain dalam segi penciptaan dan
memberikan pengaruh maka ia telah musyrik baik obyek lain itu benda mati atau
manusia, baik Nabi atau bukan. Dan barangsiapa yang meyakini adanya penyebab
dalam hal di atas baik penyebab itu berlaku secara umum atau tidak kemudian
menjadikan Allah sebagai penyebab atas terjadinya musabbab dan bahwa pelakunya
(al-fa’il) adalah Allah semata tidak ada yang menyukutui maka ia adalah seorang
mukmin meskipun salah dalam menilai apa yang bukan sebab dianggap sebagai sebab.
Karena kesalahannya terletak pada sebab bukan pada yang menciptakan sebab yang
nota bene adalah Sang Pencipta dan Pengatur SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar