Jumat, 25 Desember 2015

PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH seri tarjamah mafahim 11



Sebagian ulama mengkritik pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang  menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat. Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat. Karena itu Anda akan melihat ia berkata : Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan : akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.
Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang  mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya. Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas : Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) bid’ah diniyah (keagamaan) 2) bid’ah duniawiyyah (keduniaan). Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut.  Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama  baru ini datang ?.
Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sebenarnya.
Rasulullah SAW sebagai Syari’ bersabda, “Setiap bid’ah itu sesat. Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian ; diniyyah yang sesat dan duniawiyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa.
Karena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi jelas,  insya Allah.
Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan syar’i.  Maka untuk memahami ucapannya harus menggunakan standar syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah. Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang mendapat ancaman dari Nabi SAW :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Barangsiapa menciptakan dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak.
Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “ في أمرنا هذا ”.
Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu jauh.
Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah,  sebenarnya mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.
Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini tidaklah substansial. Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat,  – ini adalah pendapat yang benar – dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara mendetail. Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum  muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbangan dari para aimmatul ushul. Semoga Allah meridloi para aimmatul ushul dan meridloi kajian mereka terhadap lafadh-lafadh yang shahih dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan atau interpretasi.
AJAKAN PARA AIMMATUTTASHAWWUF UNTUK MENGAPLIKASIKAN SYARIAH
Tashawwuf, obyek yang teraniaya dan  senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa ? Karena ia seorang sufi.
Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tashawwuf, menyerang dan memusuhi pengamal tashawwuf bertindak dan berbicara tentang tashawwuf, kemudian tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tashawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran. Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan, “Berkata Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi.”
Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi adalah tokoh-tokoh tashawwuf yang kitab-kitab tashawwuf penuh dengan ucapan, informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka.  Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta?.
Saya ingin mengutip pandangan para tokoh tashawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka sesungguhnya. Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan.
Al-Imam Junaid RA berkata, “ Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak beliau.”
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid Al-Bastomi suatu hari berbicara pada para muridnya, “ Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali. ” Lalu Abu Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi salam. “ Orang ini tidak dapat dipercaya atas satu etika dari beberapa etika Rasulullah, maka bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiiqin, “ kata Abu Yazid.
Dzunnuun Al Mishri berkata, “Poros dari segala ungkapan (madaarul Kalam) ada empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti Al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka. Salah satu indikasi orang  yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Saw dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.
As-Sirri As-Siqthi berkata, “Tashawwuf adalah identitas untuk tiga makna ; Shufi (pengamal tashawwuf) adalah orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahirial Al-Kitab dan As-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap tabir-tabir keharaman Allah.
Abu Nashr Bisyr ibn Al Harits Al Hafi berkata, “ Saya bermimpi bertemu Nabi Saw. “ Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan  derajatmu mengalahkan teman-temanmu? Tanya Beliau. “ Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “ Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik ( Abror ).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur Al-Bashthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah padahal Rasulullah tidak pernah memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah. Kemudian Allah mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan menghadapku atau tembok.
Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah Al-Daaraani berkata, “Terkadang, selama beberapa hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya  kecuali dengan dua saksi adil ; Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Abul Hasan Ahmad ibn Abil Hawaari berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh ‘Umar ibn Salamah Al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap saat dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh besar (diwaanirrijaal). 
Abul Qasim Al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan Al-Qur’an dan tidak mencatat Al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tashawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”
Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip Al-Kitab dan Al-Sunnah dan ilmuku ini dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah.”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail Al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar  merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai Anakku, mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan  batin.”
Ia juga berkata, “Bersahabat dengan Allah itu dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut kepada-Nya. Bersahabat dengan Rasulullah itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormati dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih.
Ia juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan As-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah. Allah SWT berfirman : 
وان تطيعوه تهتدوا
Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nawawi mengatakan, “Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisi bersama Allah yang membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ Al-Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah (muraqabat) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn ‘Atha’ mengatakan, “Barangsiapa menekan dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti Al-Habib Rasulullah SAW dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau SAW.”
Ia juga mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah kecuali mengikuti Rasulullah SAW dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.”
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud Al-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah adalah memprioritaskan ketaatan kepada Allah dan mengikuti Nabi-Nya SAW.”
Mamsyad Ad-Dinawari berkata, “Etika murid adalah selalu dalam menghormati masyayikh (guru), membantu kawan-kawan, terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.”
Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah satu kefardluan Allah kecuali Allah akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak diberi musibah dengan bid’ah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar