Sebagian ulama mengkritik
pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak
dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan
berlawanan dengan sabda Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat. Teks hadits
ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat. Karena
itu Anda akan melihat ia berkata : Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik
risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan : akan datang
seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak,
tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat,
sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak
masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah
orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan
spirit agama Islam.
Tidak lama kemudian mereka
terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi
dan kondisi zaman yang mereka hadapi
juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika
tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak
akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan
dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya. Perantara ini ialah ungkapan yang
dilontarkan dengan jelas : Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) bid’ah
diniyah (keagamaan) 2) bid’ah duniawiyyah (keduniaan). Subhanallah, mereka yang
suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal
telah membuat nama tersebut. Jika kita
setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini,
diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan
undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana
nama-nama baru ini datang ?.
Orang yang berkata bahwa
pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka
saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa
diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan
mengada-ada yang sebenarnya.
Rasulullah SAW sebagai Syari’
bersabda, “Setiap bid’ah itu sesat. Demikianlah beliau mengatakannya secara
mutlak. Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi
bid’ah terbagi menjadi dua bagian ; diniyyah yang sesat dan duniawiyah yang
tidak mengandung konsekuensi apa-apa.
Karena itu harus kami jelaskan di
sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi
jelas, insya Allah.
Dalam persoalan ini yang
berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus
menggunakan standar syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa
bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada
contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan
pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar
tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu
mengambil bentuk syari’ah. Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang
dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang
mendapat ancaman dari Nabi SAW :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Barangsiapa menciptakan dalam agama kita, hal
baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak.
Garis pemisah dalam tema hadits
ini adalah kalimat “ في أمرنا هذا ”.
Oleh karena itu pengklasifikasian
bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku
untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar
menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’
tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci.
Jika mereka yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka
akan tampak bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber
persengketaan itu jauh.
Untuk lebih mendekatkan beberapa
pemahaman, saya melihat mereka yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah
hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya
mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi
bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa
pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.
Mereka yang membagi bid’ah
menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan
dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa
penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat
tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua
cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini
tidaklah substansial. Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang
mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang berpendapat
terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak mampu
menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka
memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat,
– ini adalah pendapat yang benar – dan bid’ah duniawiyyah tidak ada
konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan
sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas
sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan
ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara mendetail. Yakni mereka
mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana
fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh.
Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang
tepat, cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah
terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini
sudah jelas adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di
atas. Bid’ah dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah
oleh mereka yang ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah.
Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat
cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal
baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan
kaum muslimin untuk menyelaraskan semua
urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam,
agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya
bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan
mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbangan dari
para aimmatul ushul. Semoga Allah meridloi para aimmatul ushul dan meridloi
kajian mereka terhadap lafadh-lafadh yang shahih dan mencukupi yang mengantar
menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan atau
interpretasi.
AJAKAN PARA AIMMATUTTASHAWWUF UNTUK
MENGAPLIKASIKAN SYARIAH
Tashawwuf, obyek yang teraniaya
dan senantiasa dicurigai, sangat minim
mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan
keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar karakter
negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan
mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.”
Mengapa ? Karena ia seorang sufi.
Anehnya, saya melihat sebagian
mereka yang menghina tashawwuf, menyerang dan memusuhi pengamal tashawwuf
bertindak dan berbicara tentang tashawwuf, kemudian tanpa sungkan mengutip
ungkapan para imam tashawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mimbar
Jum’at kursi-kursi pengajaran. Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan,
“Berkata Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi,
Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi.”
Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid,
Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi adalah
tokoh-tokoh tashawwuf yang kitab-kitab tashawwuf penuh dengan ucapan,
informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia bodoh
atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta?.
Saya ingin mengutip pandangan
para tokoh tashawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap
mereka sesungguhnya. Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat
pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai
pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan.
Al-Imam Junaid RA berkata, “
Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak
Rasulullah, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan
kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak beliau.”
Terdapat riwayat yang menyebutkan
bahwa Abu Yazid Al-Bastomi suatu hari berbicara pada para muridnya, “ Bangunlah
bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali. ” Lalu Abu
Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan
wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun
berbalik pulang dan tidak memberi salam. “ Orang ini tidak dapat dipercaya atas
satu etika dari beberapa etika Rasulullah, maka bagaimana mungkin ia dapat
dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiiqin, “ kata Abu
Yazid.
Dzunnuun Al Mishri berkata,
“Poros dari segala ungkapan (madaarul Kalam) ada empat; Cinta kepada Allah Yang
Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti Al-Quran, dan khawatir berubah
menjadi orang celaka. Salah satu indikasi orang
yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Saw dalam budi
pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.
As-Sirri As-Siqthi berkata,
“Tashawwuf adalah identitas untuk tiga makna ; Shufi (pengamal tashawwuf) adalah
orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara
menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahirial
Al-Kitab dan As-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap
tabir-tabir keharaman Allah.
Abu Nashr Bisyr ibn Al Harits Al
Hafi berkata, “ Saya bermimpi bertemu Nabi Saw. “ Wahai Bisyr, tahukah kamu
kenapa Allah meninggikan derajatmu
mengalahkan teman-temanmu? Tanya Beliau. “ Tidak tahu, Wahai Rasulullah,”
Jawabku. “ Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih,
memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu kepada para sahabat dan
keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik (
Abror ).”
Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur
Al-Bashthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah
agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata.
“Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah padahal Rasulullah tidak pernah
memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah. Kemudian Allah
mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan
menghadapku atau tembok.
Abu Yazid juga pernah berkata,
“Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia
mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat
bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas
yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.”
Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah
Al-Daaraani berkata, “Terkadang, selama beberapa hari terasa di hatiku satu
noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati
saya kecuali dengan dua saksi adil ;
Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Abul Hasan Ahmad ibn Abil Hawaari
berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah
maka perbuatan itu sia-sia.”
Abu Hafsh ‘Umar ibn Salamah
Al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap
saat dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang
terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh
besar (diwaanirrijaal).
Abul Qasim Al-Junaid ibn Muhammad
berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan Al-Qur’an dan tidak mencatat
Al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tashawwuf), karena
ilmu kita dibatasi dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”
Ia juga berkata, “ Madzhabku ini
dibatasi dengan prinsip-prinsip Al-Kitab dan Al-Sunnah dan ilmuku ini dibangun
di atas fondasi hadits Rasulullah.”
Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail
Al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang melekat pada
tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai Anakku,
mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan batin.”
Ia juga berkata, “Bersahabat
dengan Allah itu dengan budi pekerti yang luhur dan senantiasa takut
kepada-Nya. Bersahabat dengan Rasulullah itu dengan mengikuti sunnahnya dan
senantiasa mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan
menghormati dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti
yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis
sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan
dan rasa belas kasih.
Ia juga berkata, “Barangsiapa
yang memposisikan As-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka
ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu
sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan
bid’ah. Allah SWT berfirman :
وان
تطيعوه تهتدوا
Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu
mendapat petunjuk.
Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad
Al-Nawawi mengatakan, “Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisi bersama
Allah yang membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau
mendekatinya.”
Abul Fawaris Syah ibn Syuja’
Al-Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang
diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan
senantiasa merasakan kehadiran Allah (muraqabat) dan menghidupkan keadaan
lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal,
maka firasatnya tidak akan meleset.”
Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn
Sahl ibn ‘Atha’ mengatakan, “Barangsiapa menekan dirinya untuk mengamalkan
etika-etika syari’at maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifat
dan dianugerahi kedudukan mengikuti Al-Habib Rasulullah SAW dalam segala
perintah, larangan dan budi pekerti beliau SAW.”
Ia juga mengatakan, “Semua yang
ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak
menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan
tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah
ia ke wajah setan.”
Abu Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar
mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah maka Dia akan memudahkan
untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah kecuali mengikuti
Rasulullah SAW dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.”
Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud
Al-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah adalah memprioritaskan
ketaatan kepada Allah dan mengikuti Nabi-Nya SAW.”
Mamsyad Ad-Dinawari berkata,
“Etika murid adalah selalu dalam menghormati masyayikh (guru), membantu
kawan-kawan, terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at
untuk dirinya.”
Abu Abdillah ibn Munazil berkata,
“Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah satu kefardluan Allah kecuali
Allah akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah tidak
menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak
diberi musibah dengan bid’ah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar