Dalam hari mahsyar yang nota bene
hari tauhid, hari iman dan hari dimana ‘Arsy dimunculkan, akan tampak keutamaan
mediator paling agung, pemilik panji (Alliwaa’ al-Ma’qud), kedudukan terpuji,
telaga yang didatangi, pemberi syafaa’t
yang diterima syafa’atnya dan tidak sia-sia jaminannya untuk orang yang
Allah telah berjanji kepada beliau bahwa Allah tidak akan mengecewakan anggapan
beliau, tidak akan menghina beliau selamanya, tidak membuat beliau susah serta
malu saat para makhluk datang kepada beliau memohon syafaat. Lalu beliau
berdiri kemudian tidak kembali kecuali mendapat baju kebaikan dan mahkota
kemuliaan yang tergambar dalam perintah Allah kepada beliau : “Wahai Muhammad,
angkatlah kepalamu, berilah syafa’at maka syafa’atmu akan diterima dan mohonlah
maka kamu akan diberi !”.
BAJU KEPALSUAN
Mereka yang mengklaim memahami
substansi permasalahan dan kekanak-kanakkan banyak jumlahnya. Namun
sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa dan tidak layak dianggap memahaminya.
Semua mengaku punya hubungan
kasih dengan Laila
Tapi Laila menampik pengakuan
mereka
Fakta menyedihkan ini ditambah
lagi dengan sikap mereka yang mencoreng diri sendiri dan merusak reputasi.
Sikap mereka tepat dengan apa yang digambarkan secara detail dalam sebuah
hadits : Orang yang berpura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak bisa membuat
kenyang laksana orang yang mengenakan dua baju kebohongan”.
Kita, umat Islam mendapat cobaan
dengan banyaknya orang-orang seperti di atas. Mereka mengeruhkan kedamaian
umat, memecah belah antar kelompok dan menbangkitkan konflik antar sesama
saudara dan anak dengan ayahnya.
Mereka berusaha meluruskan
persepsi-persepsi Islam lewat pintu pendurhakaan terhadap ulama, dan berpegang
teguh dengan ajaran-ajaran salaf dengan jalan pengingkaran, dan mengganti
kebajikan, tutur kata yang baik dan belas kasih dengan sikap keras, membatu,
etika yang buruk dan minimnya simpati. Diantara para pengklaim adalah mereka
yang menganggap mengikuti jalan tasawwuf
padahal mereka adalah orang yang paling jauh dari substansi dan essensi
taSawwuf. Mereka menodai tasawwuf, mengotori kemuliaanya, merusak ajaranya dan
melontarkan kritik pedas terhadap tasawwuf dan para imamnya dari para ahli
ma’rifat dan para guru pembimbing.
Kami tidak mengenal tahayyul,
kebatilan, kebohongan dan tipuan dalam taSawwuf. Kami juga tidak mengenal teori-teori
filsafat, ide-ide luar atau aqidah-aqidah musyrik baik sinkretisme atau
manunggaling kawula gusti.
Kami lepas tangan kepada Allah
dari muatan-muatan sesat taSawwuf dan mengkategorikan semua pandangan yang
berlawanan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dan tidak bisa dita’wil adalah
kebohongan yang menyusup dan ditambahkan oleh tangan-tangan jahil dan jiwa-jiwa
yang lemah.
Dengan perilaku yang baik dan budi pekerti
yang bersih tampaklah kepahlawanan generasi awal, para tokoh, para imam dan
para pahlawannya. Dan tampak di hadapan kita sosok Islam yang paling cemerlang,
sempurna, dan contoh paling luhur dan suci. Sejarah telah menginformasikan
kepada kita cerita kemuliaan, kebanggaan, kehormatan, keagungan, jihad,
perjuangan, dan pelajaran-pelajaran tentang peradaban Islam.
Berangkat dari fakta di muka kami
meyakini bahwa kebangkitan-kebangkitan besar tidak akan terbangun kecuali di
atas risalah-risalah spiritual dan inspirasi-inspirasi iman dan tidak akan berdiri kecuali di atas
etika-etika luhur yang kokoh yang model-modelnya digali dari akidah-akidah
suci.
Sesungguhnya sifat-sifat etik,
psikologis dan spiritual adalah modal dasar bangsa. Ketiga faktor ini adalah
asset-asset besar yang membentuk ummat dan mengantarkan umat manusia menuju
cita-cita luhur. Orang yang mengkaji sejarah hidup generasi salaf shalih dan
tokoh-tokoh sufi di tengah masyarakat, akan melihat bagaimana contoh-contoh
ideal dan prinsip-prinsip ini bisa menjadi faktor langsung terjadinya revolusi-revolusi yang nyata,
tercatat dan populer dalam sejarah Islam. Mereka tidak memiliki pengaruh dan
kekuatan kecuali iman dalam tatarannya yang paling tinggi. Iman yang panas,
berkobar-kobar dan hidup, yang berlandaskan kerinduan dan kecintaan kepada
Allah. Sebuah keimanan yang mampu menyalakan api yang menyala-nyala dan menatap
selamanya kepada Allah dalam hati para pengikutnya. Orang yang mengkaji juga
akan melihat bagaimana di tengah mereka seorang laki-laki bisa hidup dalam
maqam al-ihsan (kondisi dimana seseorang merasakan kehadiran Allah), ia melihat
Allah dalam segala sesuatu, dan merasa takut kepada-Nya dalam segala
aktivitasnya. Ia senantiasa merasa takut kepada Allah dalam setiap tarikan
nafasnya tanpa meyakini adanya penitisan, bersatunya Tuhan dengannya, dan
peniadaan eksistensi Tuhan. Iman ini adalah iman yang membangunkan kesadaran
holistik dalam kehidupan, menyentak rasa yang dalam akan ketuhanan yang
berjalan dalam alam semesta, dan yang hidup dalam sudut-sudut paling dasar dari
alam semesta, yang mengetahui apa-apa yang terlintas di hati, bisikan-bisikan
rahasia, mata yang mencuri pandang dan apa yang disembunyikan dalam hati.
ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN
SEBURUK-BURUKNYA
Di antara mereka yang mengklaim
memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka
sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara
biadab dan tolol, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman
yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan
menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah
bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal
spirit syari’ah Islam mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan
mengatakan bahwa : sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk.
Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam.
Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil
kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin
seperti Al-Imam Al-‘Izz ibn ‘Abdissalaam, Al-Nawaawi, Al-Suyuuthi, Al-Mahalli
dan Ibnu Hajar.
Hadits-hadits Nabi itu saling
menafsirkan dan saling melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian
yang utuh dan komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit
dan persepsi syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.
Karena itu kita menemukan banyak
hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang
dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari
samudera syari’ah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan
mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah
syari’at dan teks-teks Al-Qur’an dan hadits yang mengikat.
Salah satu contoh dari
hadits-hadits di muka adalah hadits :
كل بدعة ضلالة
Setiap bid’ah itu
sesat
Bid’ah dalam hadits ini harus
ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam
naungan dalil syar’i.
Penafsiran semacam ini terjadi
pula dalam hadits lain seperti :
لاصلاة لجار المسجد إلا في المسجد
Tidak ada sholatnya
seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid
Hadits ini meskipun menunjukkan
pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun
keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak
sempurna bukan tidak sah, disamping masih adanya perbedaan dalam kalangan
ulama.
Seperti hadits :
لاصلاة بحضرة الطعام
Tidak ada sholat di
hadapan makanan
Para ulama menafsirkan bahwa
sholat tersebut tidak sempurna.
لايؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
Tidak beriman salah
satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk
dirinya.
والله لايؤمن والله
لايؤمن والله لايؤمن ، قيل : من يا رسول الله ؟ قال : من لم يأمن جاره بوائقه .
Demi Allah, tidak
beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan
kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa
terganggu dengannya”.
Para ulama menafsirkan dengan
tidak adanya iman yang sempurna.
لايدخل الجنة قتات .......... ، لايدخل الجنة قاطع رحم وعاق لوالديه
Tidak akan masuk
sorga orang yang suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus
hubungan kerabat dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya.
Para ulama menegaskan bahwa yang
dimaksud tidak akan masuk sorga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak
masuk sorga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan.
Walhasil, para ulama tidak
memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan
bermacam-macam penafsiran yang sesuai.
Hadits di atas yang menjelaskan
bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan
keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah
bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum.
Dalam sebuah hadits dijelaskan :
Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya
dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat”
Berpegamg teguhlah dengan
sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafat.
‘Umar ibn Khaththab berkomentar
mengenai sholat tarawih : sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih
berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar