Banyak kalangan keliru dalam
memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian
tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan
dulu
point-point berikut :
point-point berikut :
1. Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu
pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah SWT. Maksud sesungguhnya adalah
Allah. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini
berarti ia telah musyrik.
2. Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan
mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa
Allah mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi
orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
3. Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang
dijadikan untuk bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita
dengan sendirinya sebagaimana Allah atau tanpa izinNya, niscaya ia musyrik.
4. Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya do’a
tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah
secara mutlak, sebagaimana firman Allah :
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
186. Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku
adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
قُلِ
ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا
وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
110. Katakanlah:
"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu
seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah
kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkanny] dan
carilah jalan tengah di antara kedua itu".
BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI
ULAMA
Tidak ada seorang pun kaum
muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang
berpuasa, sholat, membaca Al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah
bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model
ini lebih besar peluangnya untuk
diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.
dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang
mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang bertawassul
dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya
menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga
dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya
kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara
mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam
risalahnya yang berjudul “Qaa’idah Jalilah fittawassul wal Wasilah”.
TITIK PERBEDAAN
Sumber perbedaan dalam masalah
tawassul adalah tawassul dengan selain
amal orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan
mengatakan : Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad SAW, atau dengan
Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali RA. Tawassul model inilah yang
dilarang oleh sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra
menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul
dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal
perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan.
Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan
dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah
yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik
dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana
orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan
amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil
usahanya.
Saya katakan : Ketahuilah bahwa
orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang
dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan
keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia
meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah SWT, yang
berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah SWT mencintai
orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah : يحبّونهم ويحبّونه
atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek
tawassul.
Jika anda mencermati persoalan
ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk
amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang
diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan
olehnya dan akan mendapat pahala karenanya. Orang yang bertawassul itu
seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa
ia mencintaiMu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya
meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya
bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku
padanya, agar Engkau melakukan…………………… . Namun mayoritas kaum muslimin tidak
pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang
tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang
mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah,
saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu, itu sama dengan orang yang mengatakan
: Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepada NabiMu. Karena
orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan
kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi
ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang
terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari paparan di muka,
nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang
tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur
terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran
Islam. سبحانك هذا بهتان عظيم
DALIL-DALIL TAWASSUL YANG
DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN
Allah berfirman : يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة
Wasilah adalah segala sesuatu
yang dijadikan Allah sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah dan sebagai
media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang
dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang
ditawassulkan.
Lafadz al-wasilah dalam ayat di
atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan
sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun
sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan
ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini
dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan
anda dengar terdapat keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka
perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi
sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam
barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW
SEBELUM WUJUD DI DUNIA
Nabi Adam bertawassul dengan Nabi
Muhammad SAW. Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam AS
bertawassul dengan Nabi Muhammad. Dalam Al Mustadrok, Imam Al Hakim berkata :
Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad Al ‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad
Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim Al Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits
‘Abdullah ibnu Muslim Al Fihri menceritakan kepadaku, ‘Abdurrahman ibnu Zaid
ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar RA, ia
berkata: Rasulullah Saw bersabda,” Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepada Mu
dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam
bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai
Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatan Mu dan Engkau
tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya
melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “ Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur
Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan nama Mu kecuali nama
makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “ Benar kamu wahai Adam,
Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepada Ku dengan
hakknya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak
akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam Al Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al
Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih (vol. 2 hal. 615). Al Hafidh As
Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan
sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi mmeriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah,
dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al
Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai
hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga
menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata, “At Tabbarani meriwayatkan hadits di atas
dalam Al Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya
kenal.” Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.
Terdapat hadits dari jalur lain
dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi :
فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار
“Jika tidak ada Muhammad maka Aku
tidak akan menciptakan Adam, sorga dan nereka.” HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak
dengan isnad yang menurutnya shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya
juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul
Jauzi dalam Al Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam
Al Bidayah vol. 1 hlm. 180.
Sebagian ulama tidak sepakat atas
keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan
memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits
lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya
sebagai hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits
tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik
antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status
hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari
aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengenai hadits tawassul ini.
DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS
TAWASSUL ADAM AS
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah
menyebut dua hadits seraya berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu
al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah
berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika
Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh
langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki (betis) ‘arsy
“Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang
ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun,
kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika
Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah
menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘arsy) junjungan
anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan
memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan
dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj.
Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn
Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku
Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya
dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ketika Adam
melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak
Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan
lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau
menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan
ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun
Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling
mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan namaMu,” jawab Adam.
“Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari
keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits
sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih.
(Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini
menunjukkan bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena
hadits maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar
hadits. Dan anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai
penguat atas penafsiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar