Banyak kaum muslimin tidak
mengenal madzhab Al-Asya’irah (kelompok ulama penganut madzhab Imam Asy’ari)
dan tidak mengetahui siapakah mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah.
Sebagian kalangan, tanpa apriori, malah menilai mereka sesat atau telah keluar
dari Islam dan menyimpang dalam memahami sifat-sifat Allah.
Ketidaktahuan terhadap madzhab
Al-Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan kelompok ahlussunnah dan
terpecah-pecahnya persatuan mereka, sehingga sebagian kalangan yang bodoh
memasukkan Al-Asya’irah dalam daftar kelompok sesat. Saya tidak habis pikir,
mengapa kelompok yang beriman dan kelompok sesat disatukan? Dan mengapa
ahlussunnaha dan kelompok ekstrim
mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan?.
أَفَنَجْعَلُ
الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
35. Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang
Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)
Al-Asya’irah adalah para imam
simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian
timur dan barat dunia dan semua orang sepakat atas keutamaan, keilmuan dan
keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama ahlissunnah yang
menentang kesewenang-wenangan mu’tazilah.
Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah Al-Asya’irah digambarkan sbb : Para ulama adalah pembela ilmu agama
dan Al-Asya’irah pembela dasar-dasar agama (ushuluddin). Al-Fataawaa, volume 4.
Al-Asya’irah (penganut madzhab
Al-Asy’ari) terdiri dari kelompok para imam ahli hadits, ahli fiqih dan ahli
tafsir seperti :
• Syaikhul Islam
Ahmad ibn Hajar Al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi sebagai gurunya para
ahli hadits, penyusun kitab Fathul Baari ‘ala Syarhil Bukhaari.
• Syaikhu Ulamai
Ahlissunnah, Al-Imam An-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih Muslim, dan penyusun
banyak kitab populer.
• Syaikhul
Mufassirin Al-Imam Al-Qurthubi penyusun tafsir Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’an.
• Syaikhul Islam
Ibnu Hajar Al-Haitami, penyusun kitab Az-Zawaajir ‘aniqtiraafil Kabaa’ir.
• Syaikhul Fiqh ,
al-hujjah (argumentasi) dan ats-tsabat (tokoh ulama yang dipercaya) Zakaaria
Al-Anshari.
• Al-Imam Abu Bakar
Al-Baaqilani
• Al-Imam
Al-Qashthalani.
• Al-Imam An-Nasafi
• Al-Imam
Asy-Syarbini
• Abu Hayyan
An-Nahwi, penyusun tafsir Al-Bahru Al-Muhith.
• Al-Imam Ibnu Juza,
penyusun At-Tashil fi ‘Uluumittanziil.
• Dsb.
Seandainya kita menghitung jumlah
ulama besar dari ahli hadits, tafsir dan fiqh dari kalangan Al-Asya’irah, maka
keadaan tidak akan memungkinkan dan kita membutuhkan beberapa jilid buku untuk
merangkai nama para ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan
barat bumi. Adalah salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada
orang-orang yang telah berjasa dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu
dan memiliki kelebihan yakni para tokoh ulama, yang telah mengabdi kepada
syari’at junjungan para rasul Muhammad SAW.
Kebaikan apa yang bisa kita
peroleh jika kita menuding para ulama besar dan generasi salaf shalih telah
menyimpang dan sesat ? Bagaimana Allah akan membukakan mata hati kita untuk
mengambil manfaat dari ilmu mereka bila kita meyakini mereka telah menyimpang
dan tersesat dari jalan Islam?.
Saya ingin bertanya, “Adakah dari
para ulama sekarang dari kalangan doktor dan orang-orang jenius, yang telah
mengabdi kepada hadits Nabi SAW sebagaimana dua imam besar ; Ibnu Hajar
Al-‘Asqqalani dan Al-Imam An-Nawawi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan
keridloan kepada mereka berdua?” Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua
dan ulama Al-Asya’irah yang lain, padahal kita membutuhkan ilmu-ilmu mereka ?
Mengapa kita mengambil ilmu dari mereka jika mereka memang sesat? Padahal
Al-Imam Ibnu Sirin rahimakumullah pernah berkata : Ilmu hadits ini adalah agama
maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.
Apakah tidak cukup bagi orang
yang tidak sependapat dengan para imam di atas, untuk mengatakan, “Mereka
rahimahullah telah berijtihad dan mereka salah dalam menafsirkan sifat-sifat
Allah. Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti metode mereka.” Sebagai
ganti dari ungkapan kami menuduh mereka telah menyimpang dan sesat dan kami
marah atas orang yang mengkategorikan mereka sebagai ahlussunnah.
Bila Al-Imam An-Nawawi,
Al-‘Asqalani, Al-Qurthubi, Al-Fakhrurrazi, Al-Haitami dan Zakaria Al-Anshari
dan ulama besar lain tidak dikategorikan sebagai ahlussunnah wal jama’ah, lalu
siapakah mereka yang termasuk ahlussunnah wal jama’ah?.
Sungguh, dengan tulus kami
mengajak semua pendakwah dan mereka yang beraktivitas di medan dakwah Islam
untuk takut kepada Allah dalam menilai ummat Muhammad, khususnya menyangkut
tokoh-tokoh besar ulama dan fuqaha’. Karena, ummat Muhammad tetap dalam kondisi
baik hingga tiba hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak
mengakui kedudukan dan keutamaan para ulama kita sendiri.
ESENSI-ESENSI YANG SELESAI
DENGAN KAJIAN
Polemik berkembang di antara
ulama menyangkut banyak substansi persoalan dalam bidang aqidah, yang Allah
tidak membebani kita untuk mengkajinya. Dalam pandangan saya polemik ini telah
menghilangkan keindahan dan keagungan substansi masalah ini. Misalkan, pro
kontra para ulama menyangkut melihatnya Nabi SAW kepada Allah dan bagaimana
cara melihatnya, dan perbedaan yang luas antara mereka menyangkut persoalan
ini. sebagian berpendapat Nabi melihat Allah dengan hatinya, dan sebagian
berpendapat dengan mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentasi dan
membela pendapatnya dengan hal-hal yang tak berguna. Dalam pandangan saya
perbedaan ini tidak berguna sama sekali. Justru menimbulkan dampak negatif yang
lebih besar dibanding manfaat yang didapat. Apalagi jika masyarakat awam
mendengar polemik yang pasti menimbulkan keragu-raguan di hati mereka ini. Jika
kita mau mengesampingkan polemik ini dan
menganggap cukup dengan menyajikan sunstansi persoalan ini apa adanya maka
niscaya persoalan ini tetap dimuliakan dan dihargai dalam sanubari kaum
muslimin, dengan cara kita mengatakan bahwa Rasulullah SAW melihat Tuhannya.
Cukup kita berkata demikian sedangkan menyangkut cara melihat dan lain
sebagainya biarlah menjadi urusan Nabi.
وكلم الله موسى تكليما
Salah satu subsatansi persoalan
di atas adalah polemik yang berkembang di antara para ulama menyangkut
substansi firman Allah SWT dan perbedaan luas dalam masalah ini. sebagian
berpendapat bahwa firman Allah adalah suara hati (kalam nafsi) dan sebagian
lagi berpendapat bahwa kalam Allah berhuruf dan bersuara. Saya sendiri
berpendapat kedua pihak ini sama-sama mencari substansi mensucikan Allah dan
menjauhi syirik dalam berbagai bentuknya.
Persoalan kalam (firman Allah)
adalah kebenaran yang tidak bisa diingkari, karena tidak meniadakan
kesempurnaan ilahi. Ini adalah pandangan dari satu aspek. Ditinjau dari aspek
lain, sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib dipercayai dan
ditetapkan, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri.
Apa yang saya yakini dan saya
ajak adalah menetapkan kebenaran ini tanpa perlu membicarakan bagaimana cara
dan bentuknya. Kita tetapkan bahwa Allah memiliki sifat kalam dan berkata : Ini
adalah kalam Allah dan Allah SWT adalah Dzat yang berbicara. Kita cukup
berbicara seperti ini dan menjauhi mengkaji apakah kalam itu kalam nafsi atau
kalam yang bukan nafsi yang berhuruf dan bersuara atau tidak berhuruf dan tidak
bersuara. Karena pembahasan seperti ini berlebihan, yang Nabi Muhammad sebagai
pembawa tauhid tidak pernah membicarakannya. Lalu mengapa kita menambahkan apa
yang datang dibawa oleh Nabi? Bukankah hal semacam ini adalah salah satu bid’ah
terburuk? Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim.
Rasulullah SAW mengabarkan kepada
kita tentang kalam pada saat kita berkumpul dengan beliau di sisi Allah SWT.
Kami mengajak agar pembicaraan kita selamanya menyangkut substansi kalam dan
masalah sejenis terlepas dari pembahasan mengenai cara dan bentuknya.
إني أراكم من خلفي
Saya Mampu Melihatmu dari Belakang
Salah satu subsatansi persoalan
di atas adalah polemik yang terjadi di antara ulama menyangkut substansi sabda
Nabi SAW, “Sesungguhnya saya bisa melihat kalian dari belakang sebagaimana dari
arah depan.” Sebagian ulama berpendapat
bahwa Allah SWT menciptakan dua mata di arah belakang. Sebagian berpendapat
bahwa Allah SWT menjadikan kedua mata beliau yang di depan memiliki kekuatan
yang mampu menembus bagian belakang. Sebagian lagi berpendapat bahwa Allah SWT
membalik obyek yang ada di belakang Nabi sehingga berada di depan beliau. Semua
ini adalah interpretasi berlebihan yang membuat persoalan ini kehilangan
keindahan dan keelokannya sekaligus meredupkan kewibawaan dan keagungannya di
hati manusia.
Adapun keberadaan Nabi mampu
melihat orang yang berada di belakang sebagaimana melihat orang yang ada di
depan maka ini adalah fakta yang telah disampaikan beliau sendiri dalam hadits
shahih. Maka tidak ada ruang sama sekali untuk membantahnya. Namun apa yang saya
ajak dan menjadi pendapat saya adalah menetapkan fakta ini apa adanya tanpa
perlu mengkaji cara dan bentuknya. Kita wajib meyakini kemungkinan terjadinya
dan dampaknya, dengan cara menyaksikan salah satu hal yang di luar kebiasaan
yang meminggirkan faktor penyebab untuk menampakkan kekuasaan Allah Yang Maha
Esa dan Maha Perkasa serta kedudukan Rasulullah SAW.
Jibril Menyamar sebagai
Seorang Lelaki
Para ulama bersilang sengketa
menyangkut penyamaran Jibril AS saat datang membawa wahyu dalam bentuk seorang
lelaki padahal fisik Jibril sangat luar biasa besar.
Sebagian berpendapat bahwa Allah
membuang kelebihan dari fisiknya. Sebagian lain menyatakan sebagian fisiknya
menyatu dengan yang lain sehingga menyusut menjadi kecil. Menurut hemat saya
interpretasi ini tidak berguna. Saya meyakini Allah mampu membuat Jibril
menyamar dalam bentuk seorang laki-laki dan ini merupakan fakta yang telah
disaksikan oleh banyak sahabat. Bagi saya tidaklah penting mengetahui cara
penyamaran Jibril dalam bentuk seorang laki-laki dan saya mengajak
saudara-saudara kita sesama pelajar untuk menyampaikan fakta ini tanpa perlu
menyinggung perbedaan-perbedaan yang menyertainya agar fakta ini tetap besar
dan agung dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar